|Selamat membaca dan memaknai.
Pada awalnya kau mungkin suka rela terbuka mengulurkan tanganmu untuk memudahkan orang terkasihmu. Kau tak ingin ketika kau tak mengulurkan tanganmu maka kasih sayang yang ia janjikan akan hilang.
Setengah waktu kemudian kau masih merasa senang. Sepenuh hati tetap melayani dengan penuh perhatian. Tanpa kau tau bahwa itu akan menyeretmu pada keadaan yang lebih sulit.
Ia membuaimu dengan janji-janji manis penuh arti. Janji yang melebur kemudian tanpa arti dan pembuktian yang pasti. Tetapi hatimu terlalu suci untuk mengakui kedustaanya. Kau dengan segenap hati tetap mempercayai.
Ia membutakanmu dengan harapan diatas awan meski pada kenyataan yang ia berikan seonggok kotoran. Kau bodoh. Cinta dan ketakuan membutakanmu hingga tidak bisa membedakan. Kau batu, ya, hatimu sekeras batu. Sekalipun ibu menyematkan wejangan pada telinga kananmu, kau membiarkannya berlari melalui telinga kirimu.
Penuh waktu. Akhirnya kau mulai sadar tentang seberapa tebal bibir, seberapa
basah ludah bahkan sampai kering bibirnya membicarakan omong kosong tanpa haluan.
Kau berada dititik muak. Muak yang membuatmu terasa ingin meledak. Perasaan tak karuan, kecewa yang tertahankan, kemarahan yang kau sembunyikan juga semburat lelah yang berhasil kau biaskan.
Biarkan. Biarkan semuanya meledak. Pada titik muak yang kian menyeruak. Aku merasa ikut muak untukmu. Jika ku jadi kau akan ku bakar kata-kata manis tak bertanggung jawab itu. Aku akan berlari meninggalkan ia dengan debu-debu penyesalan.
Comments