Skip to main content

Pinterest




Tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan pertemuan kita yang telah diatur semesta. 

Difta, tak pernah menyangka bahwa kalimat itu akan terngiang-ngiang di kepalanya hanya karena sebuah pertemuan singkat. Pertemuan dengan seseorang yang, tanpa ia sadari, perlahan-lahan membuka pintu hatinya.

Hari itu, Difta sibuk mengutak-atik kamera inventaris di ruang KIR SMA 002 Pertiwi. Ia sedang memindahkan foto-foto hasil jepretan terakhirnya untuk keperluan cover majalah sekolah edisi ke-152. Kamera, bagi Difta, adalah perpanjangan matanya untuk menangkap keindahan dunia. Setiap klik lensa seperti menghentikan waktu, membekukan momen menjadi abadi.

Rama, ketua Karya Ilmiah Remaja, muncul dengan gaya khasnya—berbicara cepat seolah tak ada waktu yang bisa disia-siakan. "Dif, lo mau ya jadi perwakilan dari KIR buat jadi kepanitiaan event Galaksi nanti?"

Difta menghentikan kegiatannya sejenak, menatap Rama sambil mengangkat alis.

"Galaksi? Itu acara tahunan sekolah, kan?"

"Iya, acara besar. Tahun ini kita yang dokumentasi. Lu tahu sendiri gue enggak bisa ikut kali ini, jadi gue serahin ke lu, Leksa, sama Marni."

Difta mengangguk pelan. Ia menyukai tantangan, dan menjadi bagian dari tim dokumentasi di acara sebesar Galaksi jelas akan memberi banyak pengalaman. "Oke, gue ikut."

Di sisi lain sekolah, Dara duduk di ruang OSIS dengan wajah masam. Sebagai sekretaris acara, ia merasa kewalahan mengurus detail proposal dan menunggu daftar delegasi dari masing-masing ekskul.

"Kata gue juga apa," gumamnya kesal. "Mending langsung aja ketua pelaksana yang tunjuk nama-namanya. Ini lama banget."

Arsya, sang ketua pelaksana, hanya terkekeh sambil mengetik di ponselnya. "Santai, Dara. Hari ini gue kumpulin semua daftar delegasi, terus langsung gue bikin grup WhatsApp-nya."

"Awas aja kalau enggak selesai hari ini." Dara mendumel, tapi ia tahu Arsya bukan tipe yang akan membiarkan pekerjaannya berantakan.

Ketika daftar nama akhirnya terkumpul, sebuah grup panitia pun dibuat. Dara segera mengambil alih koordinasi, mengirim pesan pengingat untuk rapat pertama keesokan harinya di ruang C gedung 2.

Difta tiba di rapat itu sedikit terlambat. Ia merasa tak enak, tapi urusan mendadak di rumah membuatnya tak punya pilihan. Begitu memasuki ruangan, ia melihat sekelompok siswa sudah duduk melingkar. Di depan, seorang gadis dengan rambut tergerai rapi tengah berbicara serius.

"Difta dari KIR?" Gadis itu mendekat dengan langkah mantap. Suaranya tegas, dan matanya menatap lurus ke arah Difta.

"Iya, gue Difta. Kenapa?"

"Nama gue Dara, sekretaris acara ini. Karena lo baru datang, nanti setelah rapat selesai divisi dokumentasi jangan langsung bubar. Ada beberapa hal yang harus dibahas."

Difta hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya ia merasa aneh. Ada sesuatu tentang Dara—cara ia berbicara, tatapannya yang seperti senja—yang membuat Difta ingin menghentikan waktu. Seandainya ia membawa kameranya, mungkin ia akan diam-diam memotret momen ini.

Setelah rapat selesai, seperti yang Dara katakan, divisi dokumentasi tetap tinggal di ruang rapat. Difta duduk di kursinya, mencoba fokus pada pembahasan, tetapi pikirannya terus melayang. Dara berdiri di depan mereka, memimpin diskusi dengan nada serius. Ia membahas pembagian tugas, jadwal, dan teknis pelaksanaan dokumentasi selama acara Galaksi.

“Jadi, nanti gue butuh lo dan Lana untuk stand by di area panggung utama, sedangkan Nanda di stan-stan bazar. Pastikan semua momen penting terekam. Kita enggak mau ada hal terlewat.” Dara menatap mereka satu per satu, memastikan semua mengerti tugasnya.

Difta mengangguk, meski dalam hati ia lebih sibuk memperhatikan cara Dara berbicara. Ada sesuatu yang tegas namun menenangkan darinya. “Noted,” katanya singkat.

Begitu pertemuan usai, Dara mulai membereskan alat tulisnya. Difta, entah mengapa, merasa enggan beranjak. Ia mencari alasan untuk tetap tinggal.

“Eh, Dara,” panggil Difta dengan ragu.

Dara menoleh. “Ya?”

“Lo bawa catatan rundown acaranya, enggak? Gue tadi agak missed pas lo jelasin bagian akhir.”

“Oh, ada kok. Tunggu, gue ambil di tas.” Dara merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil.

“Ini. Gue kasih lihat aja dulu, atau lo mau gue fotoin?”

“Fotonya aja deh, biar gue enggak lupa,” jawab Difta sambil mengeluarkan ponselnya.

Saat ia memotret catatan itu, Dara diam-diam memperhatikan. Ada rasa penasaran yang muncul dalam benaknya. Difta, dengan gaya cueknya, terlihat berbeda dari kebanyakan siswa lain. Dara tak mengerti, tapi ia merasa Difta menyimpan sesuatu yang menarik.

Hari-hari berlalu, dan persiapan untuk Galaksi semakin intens. Difta mulai sering bertemu Dara dalam berbagai rapat dan koordinasi. Mereka tak sering berbicara, tetapi setiap percakapan kecil selalu terasa bermakna bagi Difta.

Suatu sore, ketika mereka sedang mendokumentasikan beberapa persiapan dekorasi, Difta akhirnya memberanikan diri untuk membuka obrolan.

“Lo selalu setegas itu, ya, kalau lagi kerja?” tanya Difta sambil mengarahkan kameranya ke sudut ruangan.

Dara tertawa kecil. “Emang kenapa? Keliatan galak, ya?”

“Enggak galak, sih. Tapi lo kayak... enggak suka basa-basi.”

“Ya, gue emang gitu. Gue pikir enggak ada gunanya terlalu banyak ngomong kalau bisa langsung to the point.”

Difta mengangguk. “Keren, sih. Gue suka orang yang kayak gitu.”

Dara terdiam sejenak, merasa agak canggung dengan pujian itu. Namun, ia memilih untuk tak menanggapinya terlalu serius. “Lo sendiri kenapa suka motret?”

Pertanyaan itu membuat Difta tersenyum. Ia senang ketika orang lain tertarik pada apa yang ia lakukan. “Motret itu cara gue menghentikan waktu. Ada momen-momen yang terlalu cepat berlalu, dan kamera bikin gue bisa menangkapnya selamanya.”

Dara memandang Difta dengan mata yang sedikit lebih lembut. “Kayaknya keren kalau hidup lo bisa lo tangkap dalam satu frame, ya?”

Difta hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa momen bersama Dara ini adalah salah satu yang ingin ia abadikan.

Hari berlalu begitu cepat, hari H Galaksi akhirnya tiba, suasana sekolah berubah menjadi ramai. Difta sibuk dengan kameranya, memastikan setiap sudut acara terdokumentasi dengan baik. Di sela-sela pekerjaannya, ia sesekali melirik Dara, yang tampak sibuk memberikan arahan kepada para panitia.

Saat acara hampir berakhir, Dara mendekati Difta. “Lo udah ambil foto cukup?” tanyanya.

“Udah. Gue tinggal nyari beberapa foto candid buat arsip tambahan.”

“Candid?” Dara mengernyit.

“Iya. Foto yang enggak direncanain. Biasanya itu yang paling natural.”

Dara mengangguk pelan, lalu tanpa diduga, ia berkata, “Kalau gitu, coba ambil foto gue.”

Difta terkejut. “Hah? Lo serius?”

“Iya. Gue penasaran, gimana hasil foto candid versi lo.”

Dengan cepat, Difta mengangkat kameranya, mencoba mengabadikan ekspresi Dara yang tak dibuat-buat. Dalam hati, ia merasa momen itu adalah salah satu yang paling berharga yang pernah ia tangkap. Dara gue benar-benar terpesona dengan lo, batin Difta.

Setelah acara selesai, Difta duduk di ruang KIR, memeriksa hasil jepretannya. Ia berhenti di foto Dara yang ia ambil tadi. Di foto itu, Dara terlihat tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit dijelaskan.

Ia teringat kata-kata yang pernah ia tulis di sebuah jurnal: Tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan pertemuan kita yang telah diatur semesta.

Apakah Dara adalah bagian dari rencana semesta untuk hidupnya?

Difta tak tahu. Tapi ia memutuskan untuk membiarkan perasaan itu mengalir—tanpa perlu terburu-buru mencari jawabannya.

Setelah acara Galaksi berakhir, suasana sekolah kembali seperti semula. Kesibukan yang sebelumnya menyita pikiran Difta mendadak menghilang, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Ia kembali ke rutinitasnya sebagai anggota KIR, sibuk dengan kamera dan majalah sekolah.

Namun, ada sesuatu yang berbeda. Difta sering mendapati dirinya memikirkan Dara—tatapannya, caranya berbicara, bahkan bagaimana senyumnya tertangkap di foto yang ia ambil. Foto itu, tanpa ia sadari, menjadi salah satu yang paling sering ia lihat ketika sedang sendirian di ruang KIR.

“Dif, lagi lihat apa?” suara Lana memecah lamunannya.

“Oh, enggak. Cuma lagi ngecek hasil foto kemarin,” jawab Difta cepat sambil mematikan layar laptopnya.

Lana menatapnya curiga, tapi memilih untuk tak bertanya lebih jauh. “By the way, besok ada rapat KIR. Rama bilang mau bahas projek baru.”

“Oke, noted,” balas Difta singkat.

Meski ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan kegiatan KIR, bayangan Dara tetap hadir di sela-sela kesibukannya. Difta mulai merasa gelisah. Ia bertanya-tanya, apakah Dara juga merasakan hal yang sama? Atau semua ini hanya ada di kepalanya?

Beberapa minggu setelah acara Galaksi, sekolah mengadakan lomba antar kelas sebagai bagian dari kegiatan semester. Difta, bersama beberapa anggota KIR lainnya, ditugaskan untuk mendokumentasikan acara tersebut.

Saat ia sedang memotret peserta lomba basket di lapangan, ia mendengar suara yang sudah tak asing lagi.

“Difta?”

Ia menoleh dan mendapati Dara berdiri di belakangnya, mengenakan kaos OSIS dan celana olahraga.

“Eh, Dara. Ngapain lo di sini?”

“Gue jadi panitia lomba basket. Lo sendiri lagi tugas, ya?”

“Iya. Dokumentasi, seperti biasa.”

Dara tersenyum. “Lo enggak bosen motret terus?”

“Enggak, sih. Kalau udah megang kamera, gue lupa sama segalanya.”

“Termasuk lupa waktu?” Dara menggoda.

Difta tertawa kecil. “Kayaknya iya. Tapi enggak apa-apa, kan? Selama yang gue tangkap itu momen-momen bagus.”

Dara mengangguk. “Lo emang passionate banget soal ini, ya?”

“Lumayan. Kamera ini kayak sahabat gue,” jawab Difta sambil menunjukkan kameranya.

Mereka berbicara lebih lama dari yang Difta duga. Percakapan itu terasa ringan, tapi meninggalkan kesan mendalam bagi Difta. Setelah Dara kembali ke tugasnya sebagai panitia, Difta merasa ada sesuatu yang menghangatkan hatinya.

Malam harinya, Difta membuka grup WhatsApp panitia Galaksi yang kini sudah jarang aktif. Ia terkejut melihat sebuah pesan baru dari Dara.

Dara: Eh, gue ada sesuatu buat lo. Besok ada waktu buat ketemu?

Difta membaca pesan itu beberapa kali, memastikan ia tak salah lihat. Apa yang Dara maksud?

Dengan sedikit gugup, ia mengetik balasan.


Difta: Boleh. Jam berapa dan di mana?

Dara: Jam 4 sore di taman belakang sekolah. Gue tunggu, ya.

Keesokan harinya, Difta datang ke taman dengan perasaan campur aduk. Ia melihat Dara duduk di bangku panjang, memegang sesuatu yang terbungkus rapi.

“Hey, lo datang tepat waktu,” kata Dara sambil tersenyum.

“Iya, lo ngundang, kan? Masa gue enggak datang.”

Dara tertawa kecil, lalu menyerahkan bungkusan itu pada Difta. “Ini buat lo. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena udah bantu banyak di Galaksi kemarin.”

Difta membuka bungkusan itu perlahan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku kecil dengan cover bertuliskan “Moment by Moment”. Ketika ia membukanya, ia melihat bahwa buku itu penuh dengan foto-foto hasil jepretannya selama acara Galaksi—dicetak dan disusun dengan rapi.

“Lo yang bikin ini?” tanya Difta, terkejut.

“Iya. Gue pikir, foto-foto lo terlalu bagus kalau cuma disimpan di komputer. Jadi gue cetak dan bikin jadi buku kecil ini.”

Difta tak bisa berkata-kata. Ia memandang Dara dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan.

“Lo suka?” tanya Dara.

“Suka banget. Ini salah satu hal paling berarti yang pernah gue terima. Makasih, Dara.”

Dara tersenyum. “Sama-sama. Lo pantas dapat ini, Dif.”

Malam itu, Difta menatap buku itu di kamarnya, mengenang semua momen yang pernah ia lalui bersama Dara. Ia tahu perasaannya terhadap Dara semakin kuat, tapi ia juga tahu bahwa hidup tak selalu harus memberikan jawaban atas semua pertanyaan.

Ia memutuskan untuk membiarkan semuanya mengalir. Jika semesta memang sudah mengatur pertemuannya dengan Dara, maka ia percaya bahwa semesta juga tahu ke mana perjalanan ini akan membawanya.




Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Difta dan Dara semakin dekat. Mereka sering bertukar pesan, saling berbagi cerita, dan bahkan sesekali bertemu untuk sekadar berbicara tentang fotografi atau kehidupan sekolah. Namun, semakin dekat mereka, semakin besar pula keraguan yang tumbuh di hati Difta.

Ia mulai mempertanyakan perasaannya. Apakah Dara melihatnya lebih dari sekadar teman? Atau apakah ini semua hanya ada dalam pikirannya?

“Dif, lo kenapa sih akhir-akhir ini kayak sering diem?” tanya Lana saat mereka sedang duduk di ruang KIR.

Difta menghela napas. “Enggak apa-apa. Lagi banyak pikiran aja.”

“Banyak pikiran? Tentang apa?” Lana menyipitkan mata, mencoba membaca wajah Difta.

“Ah, lo enggak bakal ngerti,” jawab Difta sambil mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan.

Lana menggeleng. “Gue ngerti, kok. Ini soal Dara, kan?”

Difta langsung membeku. “Kok lo bisa tahu?”

“Duh, Dif. Lo tuh gampang banget kebaca, tau enggak? Dari cara lo ngeliat dia waktu acara Galaksi aja gue udah tahu.”

Difta tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. “Ya, mungkin. Tapi... gue juga enggak yakin apa yang dia rasain ke gue.”

Lana menatapnya dengan serius. “Kalau lo enggak pernah ngomong, lo enggak akan pernah tahu, Dif. Kadang, lo harus berani ambil risiko.”

Difta terdiam. Kata-kata Lana terus terngiang di kepalanya sepanjang hari.

Namun, semakin Difta mencoba mendekati Dara, semakin ia merasa ada jarak yang tumbuh di antara mereka. Dara mulai jarang membalas pesannya, dan ketika mereka bertemu di sekolah, Dara terlihat sibuk atau terburu-buru.

Suatu hari, Difta memberanikan diri untuk bertanya.

“Dara, gue ngerasa lo agak beda belakangan ini. Ada yang salah?”

Dara terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Enggak, enggak ada apa-apa. Gue cuma lagi sibuk sama urusan OSIS dan persiapan lomba debat.”

“Oh,” jawab Difta singkat, meski hatinya merasa ada lebih dari sekadar alasan itu.

Beberapa minggu kemudian, Difta tanpa sengaja mendengar percakapan Dara dengan Arsya di perpustakaan. Mereka membicarakan sesuatu yang membuat hati Difta mencelos.

“Lo yakin mau cerita ke Difta?” tanya Arsya.

“Aku enggak tahu, Sya. Aku takut dia bakal salah paham,” jawab Dara pelan.

Difta yang berdiri di balik rak buku mencoba menahan rasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya Dara rasakan.

“Kalau lo terus-terusan kayak gini, lo malah bikin dia bingung, Ra,” ujar Arsya tegas.

“Ya, tapi gimana? Gue enggak mau nyakitin dia. Gue cuma enggak yakin sama perasaan gue sendiri.”

Kalimat itu seperti petir yang menyambar hati Difta. Ia mundur perlahan, tak ingin mendengar lebih banyak. Kata-kata Dara terus terngiang di pikirannya: Gue enggak yakin sama perasaan gue sendiri.

Setelah kejadian itu, Difta mulai menjaga jarak. Ia masih berbicara dengan Dara, tapi tak seperti dulu. Dara menyadari perubahan ini, tapi ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Hingga suatu hari, Dara mengirim pesan.

Dara: Dif, lo sibuk? Gue mau ngomong sesuatu.

Difta membaca pesan itu berulang kali sebelum akhirnya membalas.


Difta: Enggak. Ketemu di taman belakang jam 4, ya.

Ketika mereka bertemu, suasana terasa canggung. Dara mencoba membuka percakapan, tapi Difta hanya menjawab singkat.

“Ada apa, Dara?” tanya Difta akhirnya, mencoba memecah kebekuan.

Dara menunduk, lalu berkata pelan, “Dif, gue tahu lo mungkin ngerasa gue berubah. Gue minta maaf kalau itu bikin lo kecewa.”

Difta menatapnya dalam-dalam. “Kenapa lo berubah?”

Dara menggigit bibirnya, tampak ragu. “Karena... gue takut. Gue takut ngasih harapan yang gue sendiri enggak yakin bisa gue penuhin.”

“Lo takut, atau lo enggak pernah ngerasa hal yang sama kayak gue?” suara Difta bergetar.

Dara terdiam lama. “Gue enggak tahu, Dif. Gue masih bingung sama diri gue sendiri.”

Difta mengangguk pelan. Ia merasa ada beban yang terlepas, meski yang tersisa hanyalah kehampaan. “Kalau gitu, mungkin lebih baik kita kasih jarak. Lo butuh waktu buat ngerti diri lo, dan gue butuh waktu buat ngerti apa gue bisa nerima ini.”

Dara mengangguk, matanya terlihat berkaca-kaca. “Gue ngerti, Dif. Tapi satu hal yang gue mau lo tahu—gue enggak pernah sengaja nyakitin lo.”

Difta tersenyum kecil. “Gue tahu. Makasih, Dara.”

Setelah pertemuan itu, mereka berdua menjalani kehidupan masing-masing dengan sedikit jarak di antara mereka. Difta kembali fokus pada fotografi, sementara Dara sibuk dengan tugas OSIS.

Namun, di hati mereka masing-masing, perasaan itu masih ada—tak hilang, hanya tersimpan.

Difta sering membuka buku foto yang Dara berikan padanya. Di halaman terakhir, ia menulis sebuah catatan kecil:

“Kalau semesta memang mengatur pertemuan kita, gue yakin semesta juga tahu kapan kita akan bertemu lagi.”

 

Comments

Mungkin kamu suka:

Kenapa Sebuah Jam tangan bisa seharga Jutaan bahkan Miliaran rupiah Rolex, Patek philippe, swiss

Kenapa hanya sebuah jam tangan bisa semahal itu? Hingga ratusan juta. Beberapa minggu lalu saya melihat salah satu vidio kumpulan vidio tiktok yang lagi rame di facebook. Salah satu vidio yang membuat saya tertarik adalah vidio dengan username @Indrakenz, kalian pasti tau dong dia siapa? Pastilah sudah tak asing lagi dengan nama itu. Namanya yang akhir-akhir ini sering muncul di layar beranda sosial media kalian (mungkin, karena di beranda saya dia sering muncul). Orang bilang dia sultan. Setelah saya melihat dan telusuri lebih dalam lagi ternyata emang benar dia sultan hehe.  Karena, cara dia membuat vidio atau menyampaikan ekspresinya dalam akun tik tok pribadinya tak jarang banyak netizen yang gemas dengan tingkah sosok sultan tersebut. Karena terkesan pamer dan sombong dengan kekayaan yang dia punya.Tapi akhir-akhir ini banyak juga yang bilang kalo sosok Indra ini adalah salah satu panutan untuk terus berusaha dalam menggapai kesuksesan. Dalam vidionya terkadang ser...

Maaf ya saya jadi berharap banyak

Salahnya saya selalu menyandarkan harapan pada sesuatu. Lebih seringnya pada orang, bahkan ke orang yang baru saya temui pun saya sering menggantungkan harapan dipundaknya. Besar harapan bahwa mereka yang saya gantungi harapan bisa memenuhi harapan-harapan saya. Ternyata tetap saja epilognya kalau menyandarkan harapan pada seseorang itu akan sad ending atau berakhir tidak baik. Karena salah tempat menggantungkan harapan. Satu-satunya tempat yang paling tepat untuk menggantungkan harapa-harapan kita adalah hanya kepada Allah SWT. Allah tempat bergantung atas segala sesuatu. Di jamin deh enggak bakal kecewa. Saya juga sedang berharap banyak, pada seseorang yang tidak sengaja saya temui entah bagaimana memulainya kita terhubung. Saya seperti biasa tidak bisa mengontrol kadar harapan saya, saya selalu membubuhi dia di balik bayangannya harapan yang tinggi. Pada akhirnya ketika hal-hal yang saya harapkan tidak sesuai, saya berakhir kecewa. Sebelum melanjutkan harapan-harapan saya, saya berp...

Cakue Special untuk Sehan

Penawaran Pertama Mau saya belikan cakue?, kebetulan saya lagi mampir jajan dulu 17.54 Tawarku melalui pesan singkat yang sengaja kirim. Entah, ketika aku mengetik penawaran itu rasanya sedikit hm.. malu? Sekaligus senang. Karena dengan sedikit keberanian yang kupunya, akhirnya aku bisa menawarinya jajanan favoritku. Status di bawah nama kontak itu berubah menjadi mengetik, menandakan dia sedang mengetik untuk membalas pesan yang kukirimkan. Aku dengan harap cemas memperhatikan status mengetik itu. Aku tidak sabar menunggu balasannya. Enggak 17.56 Singkat, jelas dan padat. Sial. Sebenanya jawaban yang dia berikan cukup membuat aku tersadar, bahwa kita sejauh itu. Aku tidak sedekat itu untuk menawari apa yang ingin aku beli. Sedikit memutar otak, kutemukan jawaban yang pas  untuk mengalihkan perasaan ngenesku karena tawaran ditolak. Kalaupun mau juga beli sendiri sih wkwk 17.56 Jawabku agar penawaran yang sebelumnya terkesan sekedar basa-basi. Dia menjawab. Tuh kan, udah ketebak bak...

Minta Tolong

|Terima kasih sudah berkunjung. Ini merupakan bagian dari projek pembiasaan menulis di bulan Februari. 29 hari penuh cerita| Hai. Hari ini ada yang harus kulakukan yaitu followup surat permohonan bantuan piala dan kesedian sambutan kepada bapak Bupati Cianjur untuk acara Ngamumule Budaya Sunda yang diajukan jum'at lalu (26/01/24). Ternyata setelah dikonfirmasi lebih lanjut suratnya masih dalam tahap proses. Jadi, kemungkinan 1-2 hari kedepan kita ke Pemda  lagi. Sebelum berangkat atau mungkin sedari semalam aku memikirkan hal apa yang harus kulakukan setelah dari Pemda atau kemana baiknya aku pergi? Diam di pedestrian sembari menikmati roti dan lalu lalang kendaraan, jalan-jalan di sepanjang trotoar, ke pasar meski hanya sekedar lihat-lihat, menelusuri Pemda, mejeng di alun-alun atau ke Pusda? Pilihanku jatuh ke opsi terakhir yaitu, Pusda. Aku enggak bawa Blacky (motor yang biasa kupakai), pagi tadi berangkat dianterin. Sebelum benar-benar keluar dari Pemda aku memikirk...

Cerpen horor| Misteri jendela kamar

  Misteri Jendela Kamar Oke, aku akan menceritakan kisahku. Mungkin ini cerita pertamaku tentang hal yang berbau mistis aku yang baru mengalaminya pertama kali agak sedikit merinding dan takut. Oke, aku akan mulai menceritakannya.        Ada kejadian janggal di rumahku, kejadian janggal itu sering terjadi setelah mamah aku memutuskan untuk  bekerja dan meninggalkan aku bersama adik ku. Ya aku biasa tinggal di rumah berdua bersama adiku, tapi terkadang adiku menginap bersama temannya sehingga aku sendirian. Aku bisa saja menginap di rumah nenek ku yang tak jauh dari rumah hanya terhalang tiga rumah (cukup dekat bukan?) Tapi karena aku malas untuk keluar ya sudah aku di rumah saja ditemani oleh musik yang melantun dari handhpone. Bisa di bilang aku orangnya pemberani (๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜‚sombong amat) aku nggak percaya sama yang namanya hantu, pocong atau apapun lah itu namanya, aku sama sekali gak percaya. Meskipun banyak orang yang bilang kalo malam2 itu se...

4 Alasan Saya Malas Update Blog

Hallo, ini Drie. Hari ini saya tidak sengaja melihat update-an di laman facebook Kumpulan Emak-Emak Blogger tentang blog challenge satu hari satu post, dalam rangka menyambut hari Blogger yang jatuh pada 27 Oktober nanti. Setelah saya cermati, ternyata saya tertarik untuk mengikuti challenge tersebut. Kebetulan saya memang sedang mengkomitmenkan diri untuk konsisten menulis lagi, untuk mencairkan kebekuan kata dalam otak saya, kekakuan saya dalam menulis dan keasiangan saya dengan cerita. Challenge ini akan saya jadikan sebagai pemantik untuk menulis dan aktif lagi ngeblog, agar ‘rumah’ tempat saya menumpahkan cerita kembali lagi hidup dan terisi. Blog challenge ini akan dilaksanakan mulai dari 19 Oktober s.d 25 Oktober dengan tema berbeda setiap harinya. Tentunya ini akan menjadi tantangan tersendiri buat saya, dan semoga saya bisa berkomitmen hehehe. Bisa lah ya? Cuman 7 hari aja kok . Mari kita lihat, Drie semoga kamu berhasil. Tulisan pertama ini akan membahas men...

Hal-hal yang saya sadari ketika tidak menulis

|Terima kasih sudah berkunjung. Ini merupakan bagian dari project pembiasaan diri menulis, jadi selamat berkelana| Hi, Sudah lima hari saya enggak menulis untuk melaporkan kegiatan atau perasaan saya. Dan saya menyesal karena pikiran saya tidak tertuang dengan baik. Saya telah membiarkannya menumpuk dalam kepala hingga rasanya ingin pecah. Lima hari ini kepala saya penuh dengan kemarahan-kemarahan kecil yang sengaja saya sembunyikan, rasa kecewa yang entah bagaimana hinggap di kepala (lagi), rasa sedih yang kembali mengkungkungi hati dan rasa takut yang menjelma bayangan senantiasa memeluk jiwa. Saya kembali terlena oleh luka-luka dan rasa takut dari masa lalu. Saya kembali terjebak pada pikiran-pikiran keraguan hingga saya ingin berhenti dan menyerah. Melihat diri seperti itu, saya merenung dan berusaha menganalisis perasaan yang dirasakan dan tetap menjaga kesadaran agar tetap bisa mengendalikan diri. Hal-hal yang tidak saya tulis adalah hal-hal yang saya selalu lari darinya. Keti...