Tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan pertemuan kita yang telah diatur semesta.
Difta,
tak pernah menyangka bahwa kalimat itu akan terngiang-ngiang di kepalanya hanya
karena sebuah pertemuan singkat. Pertemuan dengan seseorang yang, tanpa ia
sadari, perlahan-lahan membuka pintu hatinya.
Hari itu, Difta
sibuk mengutak-atik kamera inventaris di ruang KIR SMA 002 Pertiwi. Ia sedang
memindahkan foto-foto hasil jepretan terakhirnya untuk keperluan cover majalah
sekolah edisi ke-152. Kamera, bagi Difta, adalah perpanjangan matanya untuk
menangkap keindahan dunia. Setiap klik lensa seperti menghentikan waktu,
membekukan momen menjadi abadi.
Rama, ketua Karya
Ilmiah Remaja, muncul dengan gaya khasnya—berbicara cepat seolah tak ada waktu
yang bisa disia-siakan. "Dif, lo mau ya jadi perwakilan dari KIR buat jadi
kepanitiaan event Galaksi nanti?"
Difta
menghentikan kegiatannya sejenak, menatap Rama sambil mengangkat alis.
"Galaksi?
Itu acara tahunan sekolah, kan?"
"Iya, acara
besar. Tahun ini kita yang dokumentasi. Lu tahu sendiri gue enggak bisa ikut
kali ini, jadi gue serahin ke lu, Leksa, sama Marni."
Difta mengangguk
pelan. Ia menyukai tantangan, dan menjadi bagian dari tim dokumentasi di acara
sebesar Galaksi jelas akan memberi banyak pengalaman. "Oke, gue
ikut."
Di sisi lain
sekolah, Dara duduk di ruang OSIS dengan wajah masam. Sebagai sekretaris acara,
ia merasa kewalahan mengurus detail proposal dan menunggu daftar delegasi dari
masing-masing ekskul.
"Kata gue
juga apa," gumamnya kesal. "Mending langsung aja ketua pelaksana yang
tunjuk nama-namanya. Ini lama banget."
Arsya, sang ketua
pelaksana, hanya terkekeh sambil mengetik di ponselnya. "Santai, Dara.
Hari ini gue kumpulin semua daftar delegasi, terus langsung gue bikin grup
WhatsApp-nya."
"Awas aja
kalau enggak selesai hari ini." Dara mendumel, tapi ia tahu Arsya bukan
tipe yang akan membiarkan pekerjaannya berantakan.
Ketika daftar
nama akhirnya terkumpul, sebuah grup panitia pun dibuat. Dara segera mengambil
alih koordinasi, mengirim pesan pengingat untuk rapat pertama keesokan harinya
di ruang C gedung 2.
Difta tiba di
rapat itu sedikit terlambat. Ia merasa tak enak, tapi urusan mendadak di rumah
membuatnya tak punya pilihan. Begitu memasuki ruangan, ia melihat sekelompok
siswa sudah duduk melingkar. Di depan, seorang gadis dengan rambut tergerai
rapi tengah berbicara serius.
"Difta dari
KIR?" Gadis itu mendekat dengan langkah mantap. Suaranya tegas, dan
matanya menatap lurus ke arah Difta.
"Iya, gue
Difta. Kenapa?"
"Nama gue
Dara, sekretaris acara ini. Karena lo baru datang, nanti setelah rapat selesai
divisi dokumentasi jangan langsung bubar. Ada beberapa hal yang harus
dibahas."
Difta hanya
mengangguk, tapi di dalam hatinya ia merasa aneh. Ada sesuatu tentang Dara—cara
ia berbicara, tatapannya yang seperti senja—yang membuat Difta ingin
menghentikan waktu. Seandainya ia membawa kameranya, mungkin ia akan diam-diam
memotret momen ini.
Setelah rapat
selesai, seperti yang Dara katakan, divisi dokumentasi tetap tinggal di ruang
rapat. Difta duduk di kursinya, mencoba fokus pada pembahasan, tetapi
pikirannya terus melayang. Dara berdiri di depan mereka, memimpin diskusi
dengan nada serius. Ia membahas pembagian tugas, jadwal, dan teknis pelaksanaan
dokumentasi selama acara Galaksi.
“Jadi, nanti gue
butuh lo dan Lana untuk stand by di area panggung utama, sedangkan Nanda di
stan-stan bazar. Pastikan semua momen penting terekam. Kita enggak mau ada hal
terlewat.” Dara menatap mereka satu per satu, memastikan semua mengerti
tugasnya.
Difta mengangguk,
meski dalam hati ia lebih sibuk memperhatikan cara Dara berbicara. Ada sesuatu
yang tegas namun menenangkan darinya. “Noted,” katanya singkat.
Begitu pertemuan
usai, Dara mulai membereskan alat tulisnya. Difta, entah mengapa, merasa enggan
beranjak. Ia mencari alasan untuk tetap tinggal.
“Eh, Dara,”
panggil Difta dengan ragu.
Dara menoleh.
“Ya?”
“Lo bawa catatan
rundown acaranya, enggak? Gue tadi agak missed pas lo jelasin bagian akhir.”
“Oh, ada kok.
Tunggu, gue ambil di tas.” Dara merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku
kecil.
“Ini. Gue kasih
lihat aja dulu, atau lo mau gue fotoin?”
“Fotonya aja deh,
biar gue enggak lupa,” jawab Difta sambil mengeluarkan ponselnya.
Saat ia memotret
catatan itu, Dara diam-diam memperhatikan. Ada rasa penasaran yang muncul dalam
benaknya. Difta, dengan gaya cueknya, terlihat berbeda dari kebanyakan siswa
lain. Dara tak mengerti, tapi ia merasa Difta menyimpan sesuatu yang menarik.
Hari-hari
berlalu, dan persiapan untuk Galaksi semakin intens. Difta mulai sering bertemu
Dara dalam berbagai rapat dan koordinasi. Mereka tak sering berbicara, tetapi
setiap percakapan kecil selalu terasa bermakna bagi Difta.
Suatu sore,
ketika mereka sedang mendokumentasikan beberapa persiapan dekorasi, Difta
akhirnya memberanikan diri untuk membuka obrolan.
“Lo selalu
setegas itu, ya, kalau lagi kerja?” tanya Difta sambil mengarahkan kameranya ke
sudut ruangan.
Dara tertawa
kecil. “Emang kenapa? Keliatan galak, ya?”
“Enggak galak,
sih. Tapi lo kayak... enggak suka basa-basi.”
“Ya, gue emang
gitu. Gue pikir enggak ada gunanya terlalu banyak ngomong kalau bisa langsung
to the point.”
Difta mengangguk.
“Keren, sih. Gue suka orang yang kayak gitu.”
Dara terdiam
sejenak, merasa agak canggung dengan pujian itu. Namun, ia memilih untuk tak
menanggapinya terlalu serius. “Lo sendiri kenapa suka motret?”
Pertanyaan itu
membuat Difta tersenyum. Ia senang ketika orang lain tertarik pada apa yang ia
lakukan. “Motret itu cara gue menghentikan waktu. Ada momen-momen yang terlalu
cepat berlalu, dan kamera bikin gue bisa menangkapnya selamanya.”
Dara memandang
Difta dengan mata yang sedikit lebih lembut. “Kayaknya keren kalau hidup lo
bisa lo tangkap dalam satu frame, ya?”
Difta hanya
tersenyum. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa momen bersama Dara ini adalah salah
satu yang ingin ia abadikan.
Hari berlalu
begitu cepat, hari H Galaksi akhirnya tiba, suasana sekolah berubah menjadi
ramai. Difta sibuk dengan kameranya, memastikan setiap sudut acara
terdokumentasi dengan baik. Di sela-sela pekerjaannya, ia sesekali melirik
Dara, yang tampak sibuk memberikan arahan kepada para panitia.
Saat acara hampir
berakhir, Dara mendekati Difta. “Lo udah ambil foto cukup?” tanyanya.
“Udah. Gue
tinggal nyari beberapa foto candid buat arsip tambahan.”
“Candid?” Dara
mengernyit.
“Iya. Foto yang
enggak direncanain. Biasanya itu yang paling natural.”
Dara mengangguk
pelan, lalu tanpa diduga, ia berkata, “Kalau gitu, coba ambil foto gue.”
Difta terkejut.
“Hah? Lo serius?”
“Iya. Gue
penasaran, gimana hasil foto candid versi lo.”
Dengan cepat,
Difta mengangkat kameranya, mencoba mengabadikan ekspresi Dara yang tak
dibuat-buat. Dalam hati, ia merasa momen itu adalah salah satu yang paling
berharga yang pernah ia tangkap. Dara gue benar-benar terpesona dengan lo,
batin Difta.
Setelah acara
selesai, Difta duduk di ruang KIR, memeriksa hasil jepretannya. Ia berhenti di
foto Dara yang ia ambil tadi. Di foto itu, Dara terlihat tersenyum kecil,
tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit dijelaskan.
Ia teringat
kata-kata yang pernah ia tulis di sebuah jurnal: Tak ada yang lebih indah
dibandingkan dengan pertemuan kita yang telah diatur semesta.
Apakah Dara
adalah bagian dari rencana semesta untuk hidupnya?
Difta tak tahu.
Tapi ia memutuskan untuk membiarkan perasaan itu mengalir—tanpa perlu
terburu-buru mencari jawabannya.
Setelah acara
Galaksi berakhir, suasana sekolah kembali seperti semula. Kesibukan yang
sebelumnya menyita pikiran Difta mendadak menghilang, menyisakan kekosongan
yang sulit dijelaskan. Ia kembali ke rutinitasnya sebagai anggota KIR, sibuk
dengan kamera dan majalah sekolah.
Namun, ada
sesuatu yang berbeda. Difta sering mendapati dirinya memikirkan
Dara—tatapannya, caranya berbicara, bahkan bagaimana senyumnya tertangkap di
foto yang ia ambil. Foto itu, tanpa ia sadari, menjadi salah satu yang paling
sering ia lihat ketika sedang sendirian di ruang KIR.
“Dif, lagi lihat
apa?” suara Lana memecah lamunannya.
“Oh, enggak. Cuma
lagi ngecek hasil foto kemarin,” jawab Difta cepat sambil mematikan layar
laptopnya.
Lana menatapnya
curiga, tapi memilih untuk tak bertanya lebih jauh. “By the way, besok
ada rapat KIR. Rama bilang mau bahas projek baru.”
“Oke, noted,”
balas Difta singkat.
Meski ia mencoba
mengalihkan pikirannya dengan kegiatan KIR, bayangan Dara tetap hadir di
sela-sela kesibukannya. Difta mulai merasa gelisah. Ia bertanya-tanya, apakah
Dara juga merasakan hal yang sama? Atau semua ini hanya ada di kepalanya?
Beberapa minggu setelah acara Galaksi, sekolah mengadakan lomba antar kelas
sebagai bagian dari kegiatan semester. Difta, bersama beberapa anggota KIR
lainnya, ditugaskan untuk mendokumentasikan acara tersebut.
Saat ia sedang
memotret peserta lomba basket di lapangan, ia mendengar suara yang sudah tak
asing lagi.
“Difta?”
Ia menoleh dan
mendapati Dara berdiri di belakangnya, mengenakan kaos OSIS dan celana
olahraga.
“Eh, Dara.
Ngapain lo di sini?”
“Gue jadi panitia
lomba basket. Lo sendiri lagi tugas, ya?”
“Iya.
Dokumentasi, seperti biasa.”
Dara tersenyum.
“Lo enggak bosen motret terus?”
“Enggak, sih.
Kalau udah megang kamera, gue lupa sama segalanya.”
“Termasuk lupa
waktu?” Dara menggoda.
Difta tertawa
kecil. “Kayaknya iya. Tapi enggak apa-apa, kan? Selama yang gue tangkap
itu momen-momen bagus.”
Dara mengangguk.
“Lo emang passionate banget soal ini, ya?”
“Lumayan. Kamera
ini kayak sahabat gue,” jawab Difta sambil menunjukkan kameranya.
Mereka berbicara
lebih lama dari yang Difta duga. Percakapan itu terasa ringan, tapi
meninggalkan kesan mendalam bagi Difta. Setelah Dara kembali ke tugasnya
sebagai panitia, Difta merasa ada sesuatu yang menghangatkan hatinya.
Malam harinya,
Difta membuka grup WhatsApp panitia Galaksi yang kini sudah jarang aktif. Ia
terkejut melihat sebuah pesan baru dari Dara.
Dara: Eh, gue
ada sesuatu buat lo. Besok ada waktu buat ketemu?
Difta membaca
pesan itu beberapa kali, memastikan ia tak salah lihat. Apa yang Dara maksud?
Dengan sedikit
gugup, ia mengetik balasan.
Difta: Boleh. Jam berapa dan di mana?
Dara: Jam 4
sore di taman belakang sekolah. Gue tunggu, ya.
Keesokan harinya,
Difta datang ke taman dengan perasaan campur aduk. Ia melihat Dara duduk di
bangku panjang, memegang sesuatu yang terbungkus rapi.
“Hey, lo datang
tepat waktu,” kata Dara sambil tersenyum.
“Iya, lo
ngundang, kan? Masa gue enggak datang.”
Dara tertawa
kecil, lalu menyerahkan bungkusan itu pada Difta. “Ini buat lo. Anggap aja
sebagai ucapan terima kasih karena udah bantu banyak di Galaksi kemarin.”
Difta membuka
bungkusan itu perlahan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku kecil dengan
cover bertuliskan “Moment by Moment”. Ketika ia membukanya, ia melihat
bahwa buku itu penuh dengan foto-foto hasil jepretannya selama acara
Galaksi—dicetak dan disusun dengan rapi.
“Lo yang bikin
ini?” tanya Difta, terkejut.
“Iya. Gue pikir,
foto-foto lo terlalu bagus kalau cuma disimpan di komputer. Jadi gue cetak dan
bikin jadi buku kecil ini.”
Difta tak bisa
berkata-kata. Ia memandang Dara dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan.
“Lo suka?” tanya
Dara.
“Suka banget. Ini
salah satu hal paling berarti yang pernah gue terima. Makasih, Dara.”
Dara tersenyum.
“Sama-sama. Lo pantas dapat ini, Dif.”
Malam itu, Difta
menatap buku itu di kamarnya, mengenang semua momen yang pernah ia lalui
bersama Dara. Ia tahu perasaannya terhadap Dara semakin kuat, tapi ia juga tahu
bahwa hidup tak selalu harus memberikan jawaban atas semua pertanyaan.
Ia memutuskan
untuk membiarkan semuanya mengalir. Jika semesta memang sudah mengatur
pertemuannya dengan Dara, maka ia percaya bahwa semesta juga tahu ke mana
perjalanan ini akan membawanya.
Seiring
berjalannya waktu, hubungan antara Difta dan Dara semakin dekat. Mereka sering
bertukar pesan, saling berbagi cerita, dan bahkan sesekali bertemu untuk
sekadar berbicara tentang fotografi atau kehidupan sekolah. Namun, semakin
dekat mereka, semakin besar pula keraguan yang tumbuh di hati Difta.
Ia mulai
mempertanyakan perasaannya. Apakah Dara melihatnya lebih dari sekadar teman?
Atau apakah ini semua hanya ada dalam pikirannya?
“Dif, lo kenapa
sih akhir-akhir ini kayak sering diem?” tanya Lana saat mereka sedang duduk di
ruang KIR.
Difta menghela
napas. “Enggak apa-apa. Lagi banyak pikiran aja.”
“Banyak pikiran?
Tentang apa?” Lana menyipitkan mata, mencoba membaca wajah Difta.
“Ah, lo enggak
bakal ngerti,” jawab Difta sambil mencoba tersenyum, meski jelas terlihat
dipaksakan.
Lana menggeleng.
“Gue ngerti, kok. Ini soal Dara, kan?”
Difta langsung
membeku. “Kok lo bisa tahu?”
“Duh, Dif. Lo tuh
gampang banget kebaca, tau enggak? Dari cara lo ngeliat dia waktu acara Galaksi
aja gue udah tahu.”
Difta tertawa
kecil, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. “Ya, mungkin. Tapi... gue juga
enggak yakin apa yang dia rasain ke gue.”
Lana menatapnya
dengan serius. “Kalau lo enggak pernah ngomong, lo enggak akan pernah tahu,
Dif. Kadang, lo harus berani ambil risiko.”
Difta terdiam.
Kata-kata Lana terus terngiang di kepalanya sepanjang hari.
Namun, semakin
Difta mencoba mendekati Dara, semakin ia merasa ada jarak yang tumbuh di antara
mereka. Dara mulai jarang membalas pesannya, dan ketika mereka bertemu di
sekolah, Dara terlihat sibuk atau terburu-buru.
Suatu hari, Difta
memberanikan diri untuk bertanya.
“Dara, gue
ngerasa lo agak beda belakangan ini. Ada yang salah?”
Dara terdiam
sejenak, lalu menggeleng. “Enggak, enggak ada apa-apa. Gue cuma lagi sibuk sama
urusan OSIS dan persiapan lomba debat.”
“Oh,” jawab Difta
singkat, meski hatinya merasa ada lebih dari sekadar alasan itu.
Beberapa minggu
kemudian, Difta tanpa sengaja mendengar percakapan Dara dengan Arsya di
perpustakaan. Mereka membicarakan sesuatu yang membuat hati Difta mencelos.
“Lo yakin mau
cerita ke Difta?” tanya Arsya.
“Aku enggak tahu,
Sya. Aku takut dia bakal salah paham,” jawab Dara pelan.
Difta yang
berdiri di balik rak buku mencoba menahan rasa penasaran. Ia ingin tahu apa
yang sebenarnya Dara rasakan.
“Kalau lo
terus-terusan kayak gini, lo malah bikin dia bingung, Ra,” ujar Arsya tegas.
“Ya, tapi gimana?
Gue enggak mau nyakitin dia. Gue cuma enggak yakin sama perasaan gue sendiri.”
Kalimat itu
seperti petir yang menyambar hati Difta. Ia mundur perlahan, tak ingin
mendengar lebih banyak. Kata-kata Dara terus terngiang di pikirannya: Gue
enggak yakin sama perasaan gue sendiri.
Setelah kejadian
itu, Difta mulai menjaga jarak. Ia masih berbicara dengan Dara, tapi tak
seperti dulu. Dara menyadari perubahan ini, tapi ia tak tahu bagaimana cara
memperbaikinya.
Hingga suatu
hari, Dara mengirim pesan.
Dara: Dif, lo sibuk? Gue mau ngomong sesuatu.
Difta membaca
pesan itu berulang kali sebelum akhirnya membalas.
Difta: Enggak. Ketemu di taman belakang jam 4, ya.
Ketika mereka
bertemu, suasana terasa canggung. Dara mencoba membuka percakapan, tapi Difta
hanya menjawab singkat.
“Ada apa, Dara?”
tanya Difta akhirnya, mencoba memecah kebekuan.
Dara menunduk,
lalu berkata pelan, “Dif, gue tahu lo mungkin ngerasa gue berubah. Gue minta
maaf kalau itu bikin lo kecewa.”
Difta menatapnya
dalam-dalam. “Kenapa lo berubah?”
Dara menggigit
bibirnya, tampak ragu. “Karena... gue takut. Gue takut ngasih harapan yang gue
sendiri enggak yakin bisa gue penuhin.”
“Lo takut, atau
lo enggak pernah ngerasa hal yang sama kayak gue?” suara Difta bergetar.
Dara terdiam
lama. “Gue enggak tahu, Dif. Gue masih bingung sama diri gue sendiri.”
Difta mengangguk
pelan. Ia merasa ada beban yang terlepas, meski yang tersisa hanyalah
kehampaan. “Kalau gitu, mungkin lebih baik kita kasih jarak. Lo butuh waktu
buat ngerti diri lo, dan gue butuh waktu buat ngerti apa gue bisa nerima ini.”
Dara mengangguk,
matanya terlihat berkaca-kaca. “Gue ngerti, Dif. Tapi satu hal yang gue mau lo
tahu—gue enggak pernah sengaja nyakitin lo.”
Difta tersenyum kecil. “Gue tahu. Makasih, Dara.”
Setelah pertemuan
itu, mereka berdua menjalani kehidupan masing-masing dengan sedikit jarak di
antara mereka. Difta kembali fokus pada fotografi, sementara Dara sibuk dengan
tugas OSIS.
Namun, di hati
mereka masing-masing, perasaan itu masih ada—tak hilang, hanya tersimpan.
Difta sering
membuka buku foto yang Dara berikan padanya. Di halaman terakhir, ia menulis
sebuah catatan kecil:
“Kalau semesta
memang mengatur pertemuan kita, gue yakin semesta juga tahu kapan kita akan
bertemu lagi.”
Comments