Hallo, ini saya.
Apa yang kamu pikirkan jika sedang overthinking? Pasti
banyak sekali skenario-skenario yang kita ciptakan sendiri dalam pikiran sampai
rasanya ingin meledak. Rasanya menjadi manusia paling terluka di muka bumi ini,
merasa menjadi manusia paling lonely, paling nggak beruntung yang jatuhnya
membawa diri pada rasa tidak bersyukur. Semua hal yang seharusnya kita syukuri
justru tertutup oleh pikiran-pikiran negatif kita, dan itu bahaya untuk
kewarasan akal kita.
Saya sendiri tiap kali overthinking datang menghampiri
akal pikiran saya, selalu datang pertanyaan tentang kredibilitas diri saya
sebagai anak. Apakah saya sudah cukup baik menjadi anak? Apakah saya sudah
cukup untuk bisa dikatakan sebagi anak yang berbakti kepada orang tua? Apakah
saya dewasa ini masih jadi beban orang tua? Apakah saya sudah cukup memberi
kebahagiaan pada orang tua? Dan saya selalu ingin menanyakan ini “Bu, apakah ibu bangga dengan saya yang
sekarang?”.
Sebagai seorang anak saya masih memiliki rasa takut,
takut bahwa ternyata saya belum bisa memberi kebhagiaan untuk orang tua saya,
takut bahwa saya ternyata belum cukup paham dengan orang tua saya. Tentang
selisih paham yang terkadang terjadi anatara saya dengan orang tua saya itu
selalu berhasi membawa saya pada kesedihan dan ketakutan yang mendalam. Saya
takut jika saya sebagai anak masih terlalu egois untuk orang tua saya, menuntut
mereka untuk selalu memahami apa yang saya mau dan kondisi saya tanpa memberi
kesempatan pada diri saya sendiri untuk bisa lebih membuka kaca pemahaman dari
sudut pandang mereka.
Sore itu, ketika matahari dengan sisa kehangatannya
mulai menenggelamkan diri pada langit senja. Saya memandang wajah ibu saya,
angin yang mencuri singkat belaian halus pada wajah berseri ibu saya dan sorot
bahagia dari kedua matanya memandang anak-anak yang tengah bermain bola di
lapangan. Tiba-tiba saya terenyuh, saya ingin menangis sembari memeluk ibu
saya. Saya ingin mencium tangannya, tangan yang sedari dulu menggenggam tangan
kecil saya, tangan yang selalu menghapus air mata saya ketika saya menangis
karena terjatuh, tangan yang senantiasa mencubit saya karena kebandelan saya,
tangan yang selalu menata rambut saya agar terlihat cantik.
Saya ingin berlari memeluknya, mencium pipinya yang
selalu disinggahi air mata karena menangisi saya, saya ingin menenggelamkan
diri saya pada kesakitan-kesakitan yang telah ibu saya lalui. Bu, maafkan saya.
Ketika itu saya berteriak bahwa kau pembohong terbaik, tetapi itu nyata. Kau
pembohong ulung Bu. Kau berbohong tentang semua rasa kecewamu, rasa lelahmu dan
rasa marahmu. Saya tidak tahu apa-apa tentangmu, Bu. Selain senyuman ikhlas
yang senantiasa kau pancarkan setiap pagi.
Bu, saya memohon maaf atas keegoisan saya, saya
memohon maaf atas ketidak pahaman saya terhadap sudut pandangmu. Memohon maaf
untuk beberapa kesempatan selalu salah paham dengan semua tindakanmu. Bu, kau
tidak salah. Saya yang salah, sebagai anak saya tidak membawa diri saya untuk
lebih berpikir dan mengerti tentangmu. Bu, maaf tentang tulisan terakhir kali
yang kuberi judul ”Hal yang paling kubenci dari Ibu”.
Saya memang membenci ibu, ketika ibu lebih memilih
bungkam dibandingkan berbicara dengan saya, saya benci dengan ibu yang tidak
mau berbagi rasa sakit, saya benci dengan ibu yang memilih menangis dalam diam
alih-alih memeluk saya sebagai sandaran, saya membenci ibu dan kebohongannya.
Saya sebagai anak juga ingin tahu.
Sore itu, sore yang membawa kesadaran saya pada
kenyataan bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang ibu saya.
Jadi, apakah saya sudah cukup kredibilitas sebagai
anak?
Comments