Baru pertaman kali saja sudah memberi efek sehebat ini? Bagaimana jadinya jika selalu bertemu? Bukankan itu tidak baik untuk kesehatan jantung dan hati? Dan sialnya kenapa kamu malah tersenyum!
Sore itu, saat dimana matahari akan berganti peran dengan bulan tepat di depan angkot merah itu kita berpapasan bahkan duduk bersebelahan. Duduk dengan segala keresahan dan kebahagiaan. Kenapa dia duduk di situ, pikirku.
Ini kesempatan terbesar harusnya, dengan keadaan yang seperti itu aku seharunya sudah tahu banyak hal tentangnya. Berbicara banyak menggali informasi tentangnya, makanan favorit, minuman favorit, film favorit, musik kesukaannya dan hal-hal lain tentangnya.
Ah, jangankan bertanya seperti itu untuk mengatakan "Hai" saja seberat ini rasanya. Bibir seolah-olah terkunci otomatis, kalaupun bisa bicara suarapun seolah-olah ikut menghilang melebur seiring dengan deburan jantung yang menggila. Kakiku kugerakkan tak nyaman, berusaha mengusir kecanggungan yang diciptakan sendiri.
Aku menumpu kepalaku lelah, memperhatikan lalu lalang kendaraan lain dibelakang. Kepalaku sudah berubah menjadi beku, tak berani melihat bahkan hanya sekedar menggerakan kepala saja rasanya malu minta ampun. Payah.
Aku sendiri hanya bisa melihat bayanganya dari balik kaca mobil yang tak jelas, sial. Aku berharap kaca yang sedang aku pandang sekarang secara ajaib berubah menjadi cermin paling jernih agar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Kiri mang" dia mengintrupsi agar angkot berhenti. Aku menarik napas lega, untung saja dia turun terlebih dahulu jadinya aku bisa menggerakan kepalaku secara bebas. Dia membayar ongkosnya dengan uang warna ungu sepuluh ribu. Menunggu. Mungkin menunggu kembalian, karena nggak mungkinkan jarak yang tak terlalu jauh bisa menghabiskan uang sepuluh ribuan. Sayang, terlalu boros kalo seperti itu.
"Maaf dek, kembaliannya kurang. Nggak ada uang pas dek?" Jelas Amang anggkot
"Nggak ada mang" menjawab sambil merogoh sakunya. Si Amang tampak bingung dan menanyakan pada penumpang apakah punya uang lima ribu, tapi belum juga ada yang menjawab dia membuka suara.
"Ya sudah mang nggak papa, lima ribu aja, tapi berdua bareng teteh itu" tunjukannya padaku, eh? Apaan nih? Kok? "Dia teman saya" lanjutnya kemudian berlalu dengan diakhiri senyuman singkat menawan yang ia perlihatkan.
"Oh, iya boleh" jawab si Amang, kemudian belalu melanjutkan perjalanan sambil mencari penumpang baru.
Sementara aku masih tertegun sendirian, eh? Apaan barusan dia membayar ongkosku? Padahal kita belum saling kenal satu sama lain. Aghhkkk sial, tingkat harapanku semakin bertambah. Ini bagaikan tertimpa durian runtuh, istilanya seperti nemu berlian di tempat sampah.
"Kiri mang"
Tanpa membayar ongkos. Membenarkan tas, menarik napas pelan, kemudian memandang ujung angkot yang baru saja aku tumpangi sampai hilang diantara mobil-mobil yang sedang malaju. Pokoknya besok harus bisa bertemu lagi dengan dia, untuk mengucapkan terima kasih sekaligus menanyakan namanya.
Sore itu, saat dimana matahari akan berganti peran dengan bulan tepat di depan angkot merah itu kita berpapasan bahkan duduk bersebelahan. Duduk dengan segala keresahan dan kebahagiaan. Kenapa dia duduk di situ, pikirku.
Ini kesempatan terbesar harusnya, dengan keadaan yang seperti itu aku seharunya sudah tahu banyak hal tentangnya. Berbicara banyak menggali informasi tentangnya, makanan favorit, minuman favorit, film favorit, musik kesukaannya dan hal-hal lain tentangnya.
Ah, jangankan bertanya seperti itu untuk mengatakan "Hai" saja seberat ini rasanya. Bibir seolah-olah terkunci otomatis, kalaupun bisa bicara suarapun seolah-olah ikut menghilang melebur seiring dengan deburan jantung yang menggila. Kakiku kugerakkan tak nyaman, berusaha mengusir kecanggungan yang diciptakan sendiri.
Aku menumpu kepalaku lelah, memperhatikan lalu lalang kendaraan lain dibelakang. Kepalaku sudah berubah menjadi beku, tak berani melihat bahkan hanya sekedar menggerakan kepala saja rasanya malu minta ampun. Payah.
Aku sendiri hanya bisa melihat bayanganya dari balik kaca mobil yang tak jelas, sial. Aku berharap kaca yang sedang aku pandang sekarang secara ajaib berubah menjadi cermin paling jernih agar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Kiri mang" dia mengintrupsi agar angkot berhenti. Aku menarik napas lega, untung saja dia turun terlebih dahulu jadinya aku bisa menggerakan kepalaku secara bebas. Dia membayar ongkosnya dengan uang warna ungu sepuluh ribu. Menunggu. Mungkin menunggu kembalian, karena nggak mungkinkan jarak yang tak terlalu jauh bisa menghabiskan uang sepuluh ribuan. Sayang, terlalu boros kalo seperti itu.
"Maaf dek, kembaliannya kurang. Nggak ada uang pas dek?" Jelas Amang anggkot
"Nggak ada mang" menjawab sambil merogoh sakunya. Si Amang tampak bingung dan menanyakan pada penumpang apakah punya uang lima ribu, tapi belum juga ada yang menjawab dia membuka suara.
"Ya sudah mang nggak papa, lima ribu aja, tapi berdua bareng teteh itu" tunjukannya padaku, eh? Apaan nih? Kok? "Dia teman saya" lanjutnya kemudian berlalu dengan diakhiri senyuman singkat menawan yang ia perlihatkan.
"Oh, iya boleh" jawab si Amang, kemudian belalu melanjutkan perjalanan sambil mencari penumpang baru.
Sementara aku masih tertegun sendirian, eh? Apaan barusan dia membayar ongkosku? Padahal kita belum saling kenal satu sama lain. Aghhkkk sial, tingkat harapanku semakin bertambah. Ini bagaikan tertimpa durian runtuh, istilanya seperti nemu berlian di tempat sampah.
"Kiri mang"
Tanpa membayar ongkos. Membenarkan tas, menarik napas pelan, kemudian memandang ujung angkot yang baru saja aku tumpangi sampai hilang diantara mobil-mobil yang sedang malaju. Pokoknya besok harus bisa bertemu lagi dengan dia, untuk mengucapkan terima kasih sekaligus menanyakan namanya.
Note: Cerita ini hasil dari imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Jika ada kesamaan cerita ataupun nama tokoh itu ketidak sengajaan ๐๐ค
Comments