Ada satu postingan yang
tidak sengaja mampir diberanda reels dari salah satu postingan akun @wenuri92.
Dalam videonya dibuka dengan pertanyaan “Kenapa guru?” kemudian ia melanjutkan
“Guru tuh punya prinsip kerja sekeras-kerasnya gaji seikhlas-ikhlasnya. Ya kali
ada yang mau. Jadi, banyak guru yang kerja seikhlas-ikhlasnya. Jadi guru tuh
susah, apalagi di sekolah negeri, magang di BUMN, perusahaan multinasional, startup,
terlalu gampang. Tapi magang di sekolah negeri semuanya penuh misteri. Enggak
ada open rekrutmen, gak ada syarat dan ketentuan, tiba-tiba ada aja guru
honorer. Gak tau tuh pakai jalur langit, jalur tol, MTR. Kuncinya cuman
satu, koneksi. Yah, minimal keponakan jauhnya security-lah”.
Berbicara mengenai guru,
kebetulan Aku salah satu mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Prodi
Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, yang mana jika dilihat dari apa yang
kuambil sekarang prospek kedepannya tentu menajdi guru. Lantas, apakah Aku
benar ingin menjadi guru? That’s right, aku tidak ingin menjadi guru.
Sejak awal ketika aku
memutuskan untuk melanjutkan studi ke pergutuan tinggi, aku sudah mewanti-wanti
untuk tidak ingin terlibat atau berkecimpung di dunia pendidikan. Realitanya,
justru kebalikannya. Aku akan menjadi seorang guru. Katakan bahwa aku menjilat
ludahku sendiri, kalau istilah sundanya dihahaok, dilebok ku sorangan.
Sebelum memutuskan untuk
menjadi anak FKIP, aku ingin masuk psikolog, terjun di dunia ekonomi meskipun
nilai ekonomiku pas-pasan, aku juga sangat ingin masuk dunia jurnalistik
terlepas karena benar-benar ingin atau hanya sekedar ingin terlihat keren saja
meskipun ada yang bilang kalau aku terlalu pendiam untuk masuk jurnalistik,
tidak cocok. Semua disiplin ilmu yang ingin ku ambil bersebrangan dengan
jurusan yang kuambil di SMA, itu mengharuskan aku berpikir ulang dan berusaha
lebih keras lagi. Setelah berhasil melewati pemikiran mendalam tentang
keputusan akhir yang akan aku ambil, dengan segala pertimbangan sisi
kanan-kiri, baik-buruknya, prospek kedepannya seperti apa, dan nanti akan
bagaimana setelahnya, dengan mantap aku memutuskan untuk mengambil Satra
Indonesia murni, karena merasa itu akan manjadi sesuatu yang menyenangkan.
Aku mengikuti beberapa tes
untuk bisa masuk pada jurusan yang aku mau, tapi tenyata takdir tidak
menuntunku untuk menjadi seorang mahasiswa Sastra Indonesia murni. Sudah
menjadi keharusan kita punya plan B ketika plan A tidak berhasil kita capai,
maka B nya adalah masuk Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang terpenting
ada Bahasa dan Satranya pikirku. Untuk predikat pendidikan yang melekat
diawalnya itu urusan nanti.
Teman-teman ketika kita
mengambil keputusan untuk kehidupan kita, tentunya tidak pernah terlepas dari
komentar-komentar orang lain. Baik itu sesuatu yang membangun atau malah
menjatuhkan. Keputusanku memilih Sastra Indonesia di awal mendapat sambutan
kurang baik karena orang-orang disekitarku beranggapan bahwa ini jurus yang
kurang menjanjikan kedepannya. Waktu itu aku memilih jurusan itu berdasarkan
dengan apa yang kusukai, untuk urusan lain-lainnya biarkan itu menyusul. Ketika
aku mengambil Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pandangan menyayangakan
juga tak jarang masih tetap kudapatkan (sepertinya ini tidak hanya aku yang
mengalami, teman-teman yang menagmbil jurusan yang sama juga pasti merasakannya).
Kenapa tidak mengambil bahasa Inggris?, Kenapa tidak mengambil matematika?,
Kenapa tidak masuk ekonomi saja?, lagi-lagi kubalas dengan senyuman.
“Tolong jangan bertanya
ataupun mengatakan hal-hal lain yang membuatku meragukan pilihanku sendiri”.
Aku punya alasan dan
tujuan tersendiri kenapa pada akhirnya memutuskan untuk mengambil Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Yang mungkin tidak perlu kuberitahu lebih
mendetail, pada intinya karena Bahasa Indonesia adalah bahasa yang kita gunakan
untuk berkomunikasi. Dengan aku mengambil Pendidikan Bahasa Indonesia ini aku
bisa meningkatkan cara penggunaan bahasa Indonesiaku agar bisa berkomunikasi
dengan baik, dan itu akan membantuku untuk meningkatkan hubungan interpersonal
maupun intrapersonalku, selebihnya misi rahasia.
Memutuskan menjadi seorang
guru bukan sesuatu hal yang mudah, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan
dari berbagai sisi. Ibu Puji selalu bilang “Jangan mau menjadi guru kalau yang
kamu kejar adalah uang”. Iya, jika yang kita kejar adalah uang maka kita tidak
akan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan menjadi guru. Dari dulu seorang
guru kita kenal dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan yang turut
serta mencerdaskan generasi bangsa tanpa menuntut imbalan selain dengan niat
bekerja seikhlas-ikhalasnya.
Menjalani perkuliah yang
baru menginjak semster 2, sedikit besarnya membantuku menyadari dan menemukan
jawaban atas pertanyaan mengapa aku harus menjadi guru. Guru adalah ujung
tombaknya generasi muda, yang mana guru membantu menciptakan dan mencerdaskan
anak bangsa guna masa depan bangsa yang lebih baik. Seorang guru adalah propesi
yang mulia, mereka dengan ikhlas menggadaikan waktunya, tenaga, dan pikirannya
dalam mendidik generasi muda sekalipun bayaran yang diterima seringkali tidak
sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.
1. Menjadi seorang guru itu
asik.
Asik karena bisa berbaur dengan berbagai macam karakter anak-anak.
2. Menjadi guru itu
menyenangkan. Menyenangkan saat di mana kita bisa melihat senyuman tulus anak-anak
yang akan menjadi pemegang masa depan.
3. Menjadi guru itu menabung
pahala.
Keikhlasan, kesabaran, dan kebaikannya akan menjadi tabungan pahala di akhirat
nanti.
Sekalipun aku tidak
berniat menjadi guru tetapi karena sekarang ada dibarisan calon guru maka, hal
yang bisa kuusahakan dan lakukan adalah berusaha membawa diri belajar dengan
baik agar bisa menjadi seorang guru yang berkualitas, kreatif, inovatif, dan
bertanggung jawab. Kita tahu, saat ini menjadi guru bukanlah sesuatu hal yang
mudah. Segala tindakan dan keputusan seorang guru itu seperti terikat oleh
benang tak terlihat. Ada banyak hukum dan aturan yang membatasi gerak seorang
guru. Meskipun begitu jangan menjadikan itu sebagai alasan pesismisme kita
menjadi seorang guru. Jadilah pendidik yang berkarakter, pendidik yang bisa
merangkul peserta didiknya, jadilah pendidik yang menyenangkan, jadilah
pendidik yang bisa menjembatani mimpi-mimpi peserta didiknya. Aku bangga
menjadi calon pendidik di masa depan. Di masa depan mari kita bertemu sebagai
akademisi profesioanal.
“Tidak ada profesi yang
lebih penting daripada guru, karena guru adalah orang yang menginspirasi,
membimbing, dan membentuk generasi mendatang.”-Albert Einstein.
Comments