Seharusnya dulu aku tak usah menyapamu, biarkan saja kau berlalu tanpa ada adegan saling temu dan mengenal satu sama lain.
Biarkan saja cerita kita tak pernah tercipta karena pada akhirnya hanya aku yang mendamba bahwa aku dan kamu akan menjadi kita.
Semesta, waktu itu memang seperti menjanjikan bahwa kita akan saling terikat satu sama lain nyatanya itu hanya pengharapanku yang berlebihan. Semesta, memang tak menjanjikan bahwa kita akan bersama hanya saja itu tampak akan bersama. Saling berbagi kabar, perhatian, dekat setiap waktu, berbagi cerita, bahkan sebelum tidurpun kita bertukar kabar, saling melempar canda lewat telepon malam.
Huh,, sungguh malam yang indah.
Pikirku cerita kita akan bertahan lama hingga aku-kamu benar-benar akan menjadi kita, nyatanya baru seperempat certia kita sudah harus mengakhiri cerita. Tidak seru bukan, aku yang berpengharapan lebih bahwa aku dan kamu akan menjadi kita hanya bisa menertawakan kebodohan diri sendiri.
Terlalu percaya diri!
Siapa yang tak akan percaya diri, jika setiap hari apa yang ia lakukan mampu mengetuk hati. Tatapan perhatiannya, kekhawatiran saat aku tak memberinya kabar, saat aku lupa makan, ataupun saat aku mengeluh sakit dia yang paling perhatian. Ahh, sudahlah mungkin aku terlalu mengartikan itu semua secara berlebihan padahal itu hanya perbuatan manusia yang sudah semestinya.
Aku tak lebih layaknya Bandung Bondowoso yang menanti bahwa semua usahanya membuat candi akan membawanya kepastian dalam hubungannya dengan Roro jongrang.
Kau tau sendiri kan akhirnya seperti apa? Yah, kau membuat hati seorang manusia berpengharap kau sendiri juga yang menghancurkan harapan itu.
Andai waktu bisa di ulang kembali, jika waktu dimana kita bertemu itu tiba, aku memilih untuk mengabaikanmu. Biarlah kita menjadi asing satu sama lain itu mungkin lebih baik daripada aku sendiri harus mendamba sendirian.
Comments