|Terima kasih sudah berkunjung. Ini merupakan bagian dari projek pembiasaan menulis di bulan Februari. 29 hari penuh cerita|
di rumah itu aku hanya punya ibu, ibu yang tak bisa kutinggalkan begitu saja. Jika aku memilih pergi dari rumah itu untuk pulang maka aku harus membawa ibuku tanpa terkecuali, Ibu harus ikut aku pulang. Andai bisa semudah itu aku membawa ibu pergi. Nyatanya ada benang takdir yang mengikat sehingga aku tidak bisa membawa Ibu pulang.
Aku akan berterus terang. Pada saat pertama kali aku memutuskan untuk menjadikan rumah itu sebagai tempat pulang aku sedikit ragu, tiap malam pertanyaan,
"Apakah rumah ini benar-benar bisa dijadikan tempat aku pulang?"
"Apakah disini aku akan benar-benar bisa merasa nyaman?"
Apakah aku benar-benar bisa menerima rasa sakit itu?"
Aku mengabaikan segala rasa takut, sakit, marah, dan kecewa hanya agar supaya bisa ikut pulang ke rumah itu bersama ibu.
Semalam, rasa sakitnya sudah tidak bisa kubendung. Aku menangis dalam kesendirianku, sejadi-jadinya selagi ada kesempatan tidak ada siapa-siapa selain cicak yang mengintipku di sudut kamar yang juga ikut meraung kesakitan, bersimpati.
Tangisanku cukup lama, cukup sampai membuat mataku sebab dan hidungku penuh dengan ingus hingga sulit bernafas. Aku berusaha tenang, menarik napas dalam-dalam lalu hembuskan. Tangisanku berhenti dua detik, detik berikutnya menangis kembali dengan penuh sesak.
Tak ada usapan di bahu ataupun punggung, tak ada seseorang yang mendengarkan ocehanku ditengah-tengah tangis, tak ada seseorang yang mengatakan "Gwenchana, teu nanaon, semua bakal baik-baik aja". Yang bisa kulakukan adalah mencubit kecil lenganku.
Ini adalah kebiasaan, karena aku pernah membaca bahwa seseorang yang melukai dirinya sendiri tak lain dan tak bukan menganggap bahwa rasa sakit fisik lebih bisa membantunya merasa lebih baik. Cubitan kecil itu kulakukan supaya tanganku merasa sakit sedikit dan memberiku kesadaran bahwa tangisanku sia-sia.
Lalu aku menangis lagi, menutup mulutku sendiri agar berhenti menagis tapi itu gagal. Mengusap air mataku dan mencoba tersenyum juga gagal lagi bahkan ini terlihat jauh lebih menyedihkan, berusaha tersenyum ditengah-tengah menangis hanya membuat diri semakin lemah. Maka, pilihanku terakhir adalah tetap melanjutkannya menangis sampai tangisan itu benar-benar selesai.
"Gwenchanayooo" kataku, "Semua akan baik-baik aja".
Sejujurnya kemana aku ingin pulang jika rumah itu dirasa bukan tempat yang tepat untuk pulang. Entahlah, hanya saja pulang yang kumaksud ini apakah benar-benar bermakna pulang yang sebenarnya atau hanya 'Pulang' metafora belaka.
Aku pandai menganalisis diri, meskipun masih sering berakhir dengan kecerobohan. Perasaan tentang ingin 'pulang' ini adalah timbul karena rasa cemburu. Aku cemburu ketika mata ibu tak hanya melihatku lagi, aku cemburu kalau Ibu lebih banyak tersenyum dengan orang lain, aku hanya cemburu. Cemburunya seorang anak pertama yang perhatian ibunya ada yang mencuri.
Aku selalu ingin serakah.
Setelah Ibu memutuskan untuk pulang aku sangat senang karena itu berarti aku bisa melihat ibu setiap hari, bercerita bebas setiap hari, sebelum berangkat dibekali senyuman Ibu dan lain sebagainya yang ku ekspektasikan tentang Ibu. Nyatanya ini jauh dari ekspektasi, bahkan ketika aku menangis semalam dan ingin memeluk Ibu saja tidak bisa.
Aku tak ingin membenci, tapi aku benar-benar membenci. Lebih tepatnya orang-orang yang menjalani takdir itu sendiri.
Jadi, setelah ini baiknya aku pulang kemana?
Comments