"Aku tidak jadi melarikan diri" kataku pada seseorang di sebelahku. Dia memandang jauh pada hamparan sawah luas di hadapannya. Angin menari-nari bersama surai rambutnya,
"Kenapa?" Dia bersuara.
"Setelah kuselami lebih dalam, alih-alih melarikan diri lebih baik aku menyambutnya sekalipun aku harus mati karena rasa sakitnya"
Kau tersenyum kagum "Wow! Cukup berani ya? Haha tapi itu lebih baik daripada melarikan diri"
Kemudian dia mendekat, merangkulkan tangannya pada pundakku lalu mengusap lembut bahuku. Itu memberiku sedikit rasa tenang, sejenak aku lupa pada kenyataan yang akan aku terima setelah ini yaitu, memeluk luka-luka yang awalnya ingin ku tinggalkan.
"Kapanpun kamu butuh aku, aku ada di sini. Kamu boleh pinjam pundakku untuk menangis. Saat luka itu dirasa terlalu sakit untuk kamu lawan maka sini, bagi luka itu sama aku, okay" mendengar itu aku hanya menunduk ingin menangis.
"Enggak papa kalo kamu ingin menangis, maka menangis saja. Jangan di tahan, lagian di sini hanya ada aku. Jadi, kamu enggak perlu malu"
Justru itu sialan.
Aku tidak mau dia melihat sisi terlemahku. Selama ini aku berusaha menutupi sisi lemahku ini dengan terus terlihat kuat di hadapannya.
"Nangis aja kali, enggak usah ditahan"
Aku ingin melepaskan diri dari rangkulannya, tetapi semakin aku berusaha melepas semakin dia mengeratkan rangkulannya.
"Aku bilang enggak usah di tahan, nangis aja. Aku enggak mau kamu menanggung semuanya sendirian"
Aku hanya semakin menundukkan kepalaku. Berharap air mataku tak terlihat oleh pandangannya. Aku masih menahan tangisku, memenjarakannya diujung bibirku yang kugigit erat-erat. Sampai bisikan tulus dari bibir manisnya menyapa lembut pendengaranku.
"Aku enggak mau liat kamu jatuh untuk yang kedua kalinya, kamu hebat"
Comments